Buka Mata dan Hati untuk Anak Penyandang Autism
Banjarbaru – Hari Kesadaran Autisme Sedunia jatuh tepat pada tanggal 2 April. Untuk memperingati hari kesadaran autisme, Himpunan Psikologi (Hima) Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru mengadakan kegiatan bedah film dengan tema “Buka Mata dan Hati untuk Autisme” berlangsung pada tanggal 2 April 2016 di Gedung Teater FK Banjarbaru. Dengan diadakannya kegiatan ini, selain untuk memperingati hari kesadaran autisme, juga diharapkan dapat memberikan edukasi dan gambaran lebih jauh mengenai keadaan autisme. Selain itu, diharapkan peserta dan masyarakat dapat menghilangkan stigma dan perlakuan negatif kepada anak penyandang autisme. Acara ini diikuti oleh peserta dari mahasiswa Psikologi angkatan 2013, 2014, dan 2015, siswa dan siswi SMAN 2 Banjarbaru dan SMAN 1 Martapura, serta guru dari SMALB Sungai Paring Martapura dengan jumlah peserta yang mengikuti kegiatan ini sekitar 40 orang.
Acara ini dimulai sekitar pukul 9 pagi hingga sekitar jam 1 siang. Sebagai pembukaan, ada sambutan yang disampaikan oleh ketua pelaksana, wakil ketua HIMA Psikologi, dan wakil ketua BEM FK UNLAM yang kemudian membuka acara secara resmi. Setelah Sambutan-sambutan, dilanjutkan Pembacaan sinopsis film yang nantinya akan ditonton bersama dan dibedah. Film ini berjudul “Mercury Rising”. Pemutaran Film ini berdurasi sekitar 2 jam. Setelah menonton film bersama, film ini kemudian di bedah oleh dosen program studi Psikologi FK UNLAM yakni Ibu Jehan Safitri, M.Psi, Psikolog. Sesi bedah film ini juga disertai dengan penyampaian gambaran anak autisme dalam keseharian nyatanya, bukan hanya sekedar dalam film.
Autisme itu bukanlah sebuah penyakit, namun suatu keadaan. Jadi, autisme memang tidak bisa disembuhkan, namun, hal yang harus dilakukan adalah beradaptasi dengan keadaannya. Anak autisme sebenarnya juga memiliki emosi, bahkan bisa jatuh cinta. Hanya saja dia tidak bisa mengekspresikan emosi-emosi yang ia miliki. Seringkali anak yang berkebutuhan khusus seperti tunarungu digeneralisasikan atau bahkan di judge sebagai anak-anak autisme. Persepsi ini lah yang masih melekat di masyarakat. Padahal, untuk menyatakan bahwa seorang anak itu memiliki keadaan autisme, harus dengan pemeriksaan oleh ahli yang berkompeten seperti dokter, psikiater, ataupun psikolog karena biasanya gejala mereka memang mirip dengan gejala anak berkebutuhan khusus biasanya. Sehingga tidak bisa hanya dengan sekali dua kali lihat saja kita dapat menyatakan seseorang mengalami keadaan autisme. Tanpa kita sadari juga, banyak bercandaan yang memakai kata autis sebagai bentuk pengolok-olokan kepada teman. Walaupun terkesan sepele, sebenarnya hal ini memang tidak seharusnya dilakukan.
Penyampaian materi dan bedah film dari Ibu Jehan Safitri di moderatori oleh mahasiswi psikologi angkatan 2015, Syifa Oktavia. Pada sesi tanya jawab, peserta juga aktif untuk bertanya, baik itu dari mahasiswa psikologi sendiri maupun dari siswa SMA. Diantaranya pertanyaan-pertanyaan itu adalah,“apa bedanya anak autisme dengan anak down syndrome?” yang ditanyakah oleh Gigih dari Psikologi angkatan 2014. “Bagaimana peran orangtua dalam terapi anak dengan keadaan autisme?” yang ditanyakan oleh Edrik dari Psikologi angkatan 2014. Dan “apakah keadaan autisme bisa terjadi ketika seseorang sudah dewasa, bukan dari lahir?” dari seorang siswi SMAN 2 Banjarbaru.
Setelah sesi bedah film ini, acara diselingi dengan istirahat dan makan siang. Setelah itu, ada sesi sharing bersama Guru SMALB Sungai Paring, yaitu Pak Fauzi. Beliau membagikan pengalamannya tentang segala hal yang berkenaan dengan anak autisme sekaligus juga memberikan gambaran mengenai keadaan autisme. Setelah sesi sharing, acara pun berakhir.
Kegiatan bedah film dilakukan karena kegiatan ini dirasa lebih efektif untuk dapat menyampaikan makna-makna dan membangun kesadaran mengenai keadaan autisme. Kegiatan ini dirasa lebih efektif ketimbang sosialisasi ke sekolah-sekolah berkebutuhan khusus yang guru-guru dan orangtuanya mungkin jauh lebih mengerti daripada kita, dan orasi serta pembagian brosur di pinggir jalan yang memiliki kemungkinan untuk tidak diperhatikan atau tidak dibaca. Acara Peringatan Hari Kesadaran Autisme ini memang merupakan kegiatan pertama yang diselenggarakan oleh HIMA Psikologi. Maka dari itu, memang masih ada beberapa kekurangan dalam penyelenggaraan acara ini. Yang pertama, cakupan peserta masih sangat kecil, hanya mahasiswa dan siswa saja. Jadi, belum terlalu meluas di masyarakat. Untuk itu, pada kesempatan berikutnya diharapkan agar sasaran kegiatan semacam ini dapat diperluas dan dikemas lebih menarik lagi. Selain itu, film yang ditonton bersama ini memang sedikit kurang sesuai dengan peserta SMA karena mengandung unsur kekerasan. Disamping itu, juga ada kekurangan dalam hal-hal teknis seperti tidak dipasangnya tirai hitam di pintu masuk ruang teater, sehingga ketika pintu terbuka, peserta teralihkan fokusnya dari film yang mereka tonton. Namun, terlepas dari itu semua, diharapkan kegiatan kecil yang dimulai oleh HIMA Psikologi ini dapat diteruskan dan dapat memberikan kontribusi untuk gerakan-gerakan kesadaran autisme.